PENDAHULUAN
Sebelum
Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam
terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan
tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran
sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya. Dengan potensi
fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri
dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut sama sekali ke dalamnya. Ia
mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrahnya yang luar
biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus
budaya masyarakatnya. Bahkan ia mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang
sudah tenggelam dalam lumpur budaya masyarakat tersebut.
Dalam
usahanya menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammad menempuh
jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Haekal
melukiskan: “di kalangan masyarakatnya, dialah orang yang paling banyak
berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah
mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat
manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa yang
demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke
dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta
ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima
risalahNya”. (dikutip Zuhairini, dkk: 2010: hlm. 18).
Pelaksanaan
pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi dua tahap, baik dari segi waktu
penyelenggaraannya, maupun dari segi isi dan meteri pendidikannya, yaitu: 1.
Tahap/fase Makkah, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya, dan 2. Tahap/fase
Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) Islam. Peristiwa Hijrah telah
membedakan antara kedua fase tersebut.
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Pendidikan Islam di Makkah
Menjelang
pengangkatan Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul Allah, dalam tahannus atau
khalwatnya di Gua Hira’, pada bulan Ramadhan, datanglah kepastian dalam dirinya
bahwa ia telah mendapatkan kebenaran yang dicarinya itu. Haekal melukiskan: “….
Setelah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya ia bertemu dengan mimpi
hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan
dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu daya dengan segala macam
kemewahannya yang tiada berguna. Ketika itulah ia yakin benar bahwa masyarakatnya
telah sesat dari jalan yang benar. Hidup kerohanian mereka telah rusak karena
tunduk kepada berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang
tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tidak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang
disebutkan mereka itu masing-masing memang benar, tetapi masih mengandung
bermacam-macam tahayul dan berbagai macam cara paganism, yang tidak mungkin
sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang tidak mengenal segala
macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan
ahli kitab itu. Dan kebenaran itu ialah Allah, Khaliq seluruh alam, tak ada
Tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah, pemelihara alam semesta. Dialah
Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai
berdasarkan perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan
dilihatNya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan
dilihatNya pula. Dan bahwa surge itu benar adanya dan nerakapun benar adanya.
Mereeka yang menyembah Tuhan selain Allah adalah penghuni neraka, tempat
tinggal dan kediaman yang paling durjana.” (dikutip Zuhairini, dkk: 2010: hlm.
19)
Muhammad
mulai mulai meneria wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan instruksi untuk
melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijrah (6 agustus 610 M). petunjuk dan
instruksi tersebut terdapat pada surah ke 96 ayat 1-5, yang berbunyi:
Kemudian
disusul dengan wahyu yang kedua yang terdapat pada surah ke 74 ayat 1-7, yang
berbunyi:
Kemudian
bahan atau materi pendidikan tersebut diturunkan secara berangsur-angsur,
sedikit demi sedikit. Setiap kali menerima wahyu, segera ia sampaikan kepada
umatnya, diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh bagaimana
pelaksanaannya.
Di
samping itu, Nabi Muhammad saw. Telah mendidik umatnya secara bertahap. Ia
mulai dengan keluarga dekatnya, yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi.
Mula-mula diajaknya istrinya, Khadijah, untuk beriman dan menerima
petunjuk-petunjuk Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali bi Abi Thalib
(anak pamannya) dan Zaid bin Harisah (seorang pembantu rumah tangganya, yang
kemudian diangkat menjadi anak angkatnya). Kemudian ia mulai dengan seruannya
kepada sahabat karibnya yang telah lama bergaul dengannya seperti Abu Bakar
Siddiq, yang segera menerima ajakannya. Dan secara berangsur-angsur ajakan
tersebut meluas, tetapi masih terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku
Quraisy saja. Maka berimanlah antara lain: Usman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Sa’ad bi Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah
bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khattab bersama suaminya Said
bin Zaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka itulah orang-orang yang mula-mula
masuk Islam (Assabiqunnal al Awwalun), dan mereka secara langsung diajar dan
dididik oleh Nabi untuk mejadi muslim dan siap menerima dan melaksanakan
petunjuk dan perintah dari Allah yang akan turun kemudian.
Kebijaksanaan
Nabi Muhammad saw. Untuk menyampaikan ajaran Islam yang demikian itu,
berdasarkan petunjuk langsung dari Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah
ke 26 ayat 213-216, yang berbunyi:
Dan
keadaan itu berlangsung sampai lebih dari 3 tahun, sampai akhirnya turun
petunjuk dan perintah dari Allah, agar Nabi memberikan pendidikan dan seruannya
secara terbuka yang terdapat dalam surah ke 22 ayat 94, yang berbunyi:
Dengan
turunnya perintah tersebut, maka mulailah Nabi memberikan pengajaran kepada
umatnya secara terbuka dan lebih meluas, bukan hanya di lingkungan kaum
keluarga di kalangan penduduk Makkah, tetapi juga kepada penduduk di luar
Makkah, terutama mereka yang datang ke Makkah, baik dalam rangka ibadah haji
maupun perdagangan.dengan demikian, tantangan yang dihadapinya dengan penuh
kesabaran, dan dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan selalu memberikan
petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi tantangan tersebut
a. Pendidikan
Tauhid, Dalam Teori dan Praktek
Sebagaimana
dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad saw. Dalam melaksanakan tugas kerasulannya,
berhadapan dengan nilai-nilai warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari
yang sebenarnya. Inti warisan tersebut adalah ajaran tauhid. Tetapi ajaran
tersebut dalam budaya yang dihadapi oleh Muhammad, telah pudar dalam budaya
mesyarakat bangsa Arab jahilliyah. Inilah tugas Muhammad, yaitu untuk
memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia pada umumnya, dan
yang pertama-tama dihadapinya adalah kehidupan bangsa Arab pada masanya. Dan
ini pula intisari pendidikan Islampada masa/periode Makkah.
Muhammad
memperoleh kesadaran dan penghayatan yang mantap tentang ajaran tauhid, yang
intisarinya adalah sebagai mana tercermin dalam surah Al-Fatihah.
Pokok-pokoknya adalah:
1. Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya, Dialah
satu-satunya yang menguasai dan mengatur alam ini sedemikian rupa, sehingga
merupakan tempat yang sesuai dengan kehidupan manusia.
2. Bahwa Allah telah memberikan nikmat, memberikan segala keperluan bagi
semua makhlukNya, dan khusus kepada manusia ditambah dengan petunjuk dan
bimbingan agar mendapatkan kebahagiaan hidup yang sebenar-benarnya.
3. Bahwa Allah adalah raja hari kemudian, telah memberikan pengertian bahwa
segala amal perbuatan manusia sewaktu manusia di dunian ini akan diperhitungkan
disana.
4. Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan yang satu-satunya
5. Bahwa Allah adalah penolong yang sebenarnya, dan oleh karenanya hanya
kepadaNya lah manusia harus meminta pertolongan.
6. Bahwa Allah sebenarnya yang membimbing dan memberi petunjuk kepada
manusia dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan,
tantangan, dan godaan.
Itulah intisari yang dibawa oleh Muhammad yang akan dididikkan kepada
umatnya. Pelaksanaan tauhid tersebut ternyata jelas-jelas bertentangan dengan
praktek kehidupan sehari-hari umat yang dihadapinya, sehingga dengan demikian
wajarlah kalau pada mulanya ia mendapatkan tantangan yang hebat.
Pertama-tama Nabi Muhammad saw. Dalam rangka memberikan pendidikan
tauhid ini, mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan
kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau
mengajarkan cara bagaimana merealisir pengertian tauhid tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidas
sesuai dengan pengertian tauhid, diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur,
sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran tauhid.
Kalau selama ini memulai pekerjaan dengan menyebutkan nama berhala, maka
Nabi Muhammad saw. Agar dalam memulai setiap pekerjaan harus menyebut basmalah
(bismillahirrahmanirrahim). Dengan mengucapkan lafal tersebut, berarti: 1.
Mengerjakan sesuatu perbuatan karena Allah, bukan karena yang lainnya, 2.
Mengerjakan pekerjaan dengan harapan mendapatkan pertolongan dan petunjuk dari
Allah, 3. Mendapatkan daya dan kekuatan dari Allah, 4. Tidak melanggar
ketentuan Allah, dan 5. Dalam segala perbuatan tercermin sifat kasih sayang.
Mahmud Yunus, dalam bukunya Sejarah
Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan Islam masa Makkah
ini meliputi:
1. Pendidikan keagamaan
2. Pendidikan akliyah dan ilmiah
3. Pendidikan akhlak dan budi pekerti
4. Pendidikan jasmani (kesehatan)
b. Pengajaran
Al-Qur’an di Makkah
Al-Qur’an
adalah merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan
oleh Muhammad saw. Kepada umatnya. Tugas Muhammad di samping mengajarkan tauhid
juga mengajarkan al-Qur’an kepada umatnya, agar secara utuh dan sempurna
menjadi milik umatnya, yang selanjutnya akan menjadi warisan ajaran secara
turun temurun, dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin
sepanjang zaman.
Pada masa
permulaan Nabi Muhammad saw. Mengajarkan Islam di Makkah, telah ada beberapa
orang di kalangan masyarakatnya yang pandai baca-tulis. Mereka antara lain
adalah: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin
Al Jarrah, Talhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Hudaifah bin Utbah, Abu Sufyan bin
Harb, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dll. Bahkan dari kalangan kaum wanita, terdapat
nama-nama Hafsah isteri Nabi Muhammad saw. Ummi Kulsum binti Uqbah, Aisyah
binti Sa’ad, al-Syifak binti Abdullah al-Adawiyah dan Karimah binti al-Miqdad,
yang pandai baca-tulis.
Muhammad
saw. Diperintahkan oleh Allah untuk membaca lalu ia membaca situasi sekitarnya
dan situasi masyarakat yang menjadi sasaran tugasnya. Ia melihat potensi
pengikutnya yang kuat hafalannya, dan potensi sebagian dari mereka yang pandai
baca-tulis.kemudian Nabi Muhammad memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang
pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang
dibacakan oleh beliau dan mereka hafalkan. Demikianlah kebijaksanaan Rasulallah
dalam setiap turun wahyu.
Pada masa
permulaan turunnya al-Qur’an, sewaktu Nabi Muhammad saw. Mengajarkan Islam
secara sembunyi-sembunyi, para sahabat mempelajari al-Qur’an di suatu rumah
(Arqam bin Abi al-Arqam). Mereka berkumpul membaca al-Qur’an memahami kandungan
setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bermudarasah dan bertadarus.
Setelah Umar bin Khattab memeluk agama Islam mereka dengan bebas membaca dan
mempelajari al-Qur’an. Nabi Muhammad saw. Selalu mnganjurkan kepada para
sahabatnya supaya al-Qur’an dihafal dan selalu dibaca, dan diwajibkan
membacanya dari ayat-ayatnya dalam shalat, sehingga kebiasaan membaca al-Qur’an
tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, menggantikan
kebiasaan membaca syair-syair indah pada masa sebelum Islam. Untuk menjaga agar
al-Qur’an tidak tercampur dengan hal-hal lain maka Nabi Muhammad saw.
Memberikan perintah agar hanya al-Qur’an sajalah yang dituliskan. Sabda beliau
atau pelajaran-pelajaran lain, misalnya penjelasan-penjelasan al-Qur’an pun
dilarang untuk ditulis.
Selanjutnya
untuk memantapkan al-Qur’an dalam hafalan mereka, Nabi uhammad saw. Sering mengadakan ulangan
terhadap hafalan para sahabat tersebut. Beliau menyuruh para sahabat untuk
membacakan ayat-ayat al-Qur’an di hadapannya, kemudian beliau membetulkan
hafalan dan bacaan mereka, jika terjadi kekeliruan atau kesalahan. Nabi
Muhammad saw. Baru wafat di waktu al-Qur’an telah lengkap dan sempurna pula
disampaikan/diajarkan kepada umatnya, telah dihafalkan oleh banyak pengikutnya
dan semua ayat-ayat dari setiap surah telah disusun pula menurut tertib urut
yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijaksanaan
tersebut, tentunya sesuai dengan tujuan dan sasaran diturunkannya al-Qur’an
oleh Allah, yang bukan saja untuk suku Quraisy, atau untuk suku-suku bangsa
Arab lainnya saja, tetapi bahkan untuk seluruh umat manusia.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa sejarah pendidikan
Islam pada zaman Rasulullah saw. di kota Makkah pokok pembinaan pendidikan Islamnya
adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid
ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid
dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan, pokok pembinaan pendidikan Islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan
sosial dan politik, yang merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah,
yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh
ajaran, merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Niswa, Choirun. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press
Ramayulis. 2011. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Zuhairini. 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara
Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar