Jumat, 27 Mei 2016

PENDIDIKAN ISLAM DI MEKAH DAN MADINAH PADA ZAMAN NABI MUHAMMAD SAW.



PENDAHULUAN

Sebelum Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya. Dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut sama sekali ke dalamnya. Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrahnya yang luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya. Bahkan ia mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang sudah tenggelam dalam lumpur budaya masyarakat tersebut.
Dalam usahanya menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammad menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Haekal melukiskan: “di kalangan masyarakatnya, dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa yang demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya”. (dikutip Zuhairini, dkk: 2010: hlm. 18).
Pelaksanaan pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi dua tahap, baik dari segi waktu penyelenggaraannya, maupun dari segi isi dan meteri pendidikannya, yaitu: 1. Tahap/fase Makkah, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya, dan 2. Tahap/fase Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) Islam. Peristiwa Hijrah telah membedakan antara kedua fase tersebut.




PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Pendidikan Islam di Makkah
Menjelang pengangkatan Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul Allah, dalam tahannus atau khalwatnya di Gua Hira’, pada bulan Ramadhan, datanglah kepastian dalam dirinya bahwa ia telah mendapatkan kebenaran yang dicarinya itu. Haekal melukiskan: “…. Setelah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya ia bertemu dengan mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu daya dengan segala macam kemewahannya yang tiada berguna. Ketika itulah ia yakin benar bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar. Hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tidak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing-masing memang benar, tetapi masih mengandung bermacam-macam tahayul dan berbagai macam cara paganism, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan ahli kitab itu. Dan kebenaran itu ialah Allah, Khaliq seluruh alam, tak ada Tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah, pemelihara alam semesta. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula. Dan bahwa surge itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereeka yang menyembah Tuhan selain Allah adalah penghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durjana.” (dikutip Zuhairini, dkk: 2010: hlm. 19)
Muhammad mulai mulai meneria wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan instruksi untuk melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijrah (6 agustus 610 M). petunjuk dan instruksi tersebut terdapat pada surah ke 96 ayat 1-5, yang berbunyi:
Kemudian disusul dengan wahyu yang kedua yang terdapat pada surah ke 74 ayat 1-7, yang berbunyi:
Kemudian bahan atau materi pendidikan tersebut diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Setiap kali menerima wahyu, segera ia sampaikan kepada umatnya, diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh bagaimana pelaksanaannya.
Di samping itu, Nabi Muhammad saw. Telah mendidik umatnya secara bertahap. Ia mulai dengan keluarga dekatnya, yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi. Mula-mula diajaknya istrinya, Khadijah, untuk beriman dan menerima petunjuk-petunjuk Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali bi Abi Thalib (anak pamannya) dan Zaid bin Harisah (seorang pembantu rumah tangganya, yang kemudian diangkat menjadi anak angkatnya). Kemudian ia mulai dengan seruannya kepada sahabat karibnya yang telah lama bergaul dengannya seperti Abu Bakar Siddiq, yang segera menerima ajakannya. Dan secara berangsur-angsur ajakan tersebut meluas, tetapi masih terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy saja. Maka berimanlah antara lain: Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bi Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khattab bersama suaminya Said bin Zaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka itulah orang-orang yang mula-mula masuk Islam (Assabiqunnal al Awwalun), dan mereka secara langsung diajar dan dididik oleh Nabi untuk mejadi muslim dan siap menerima dan melaksanakan petunjuk dan perintah dari Allah yang akan turun kemudian.
Kebijaksanaan Nabi Muhammad saw. Untuk menyampaikan ajaran Islam yang demikian itu, berdasarkan petunjuk langsung dari Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah ke 26 ayat 213-216, yang berbunyi:
Dan keadaan itu berlangsung sampai lebih dari 3 tahun, sampai akhirnya turun petunjuk dan perintah dari Allah, agar Nabi memberikan pendidikan dan seruannya secara terbuka yang terdapat dalam surah ke 22 ayat 94, yang berbunyi:
Dengan turunnya perintah tersebut, maka mulailah Nabi memberikan pengajaran kepada umatnya secara terbuka dan lebih meluas, bukan hanya di lingkungan kaum keluarga di kalangan penduduk Makkah, tetapi juga kepada penduduk di luar Makkah, terutama mereka yang datang ke Makkah, baik dalam rangka ibadah haji maupun perdagangan.dengan demikian, tantangan yang dihadapinya dengan penuh kesabaran, dan dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi tantangan tersebut
a.      Pendidikan Tauhid, Dalam Teori dan Praktek
Sebagaimana dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad saw. Dalam melaksanakan tugas kerasulannya, berhadapan dengan nilai-nilai warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari yang sebenarnya. Inti warisan tersebut adalah ajaran tauhid. Tetapi ajaran tersebut dalam budaya yang dihadapi oleh Muhammad, telah pudar dalam budaya mesyarakat bangsa Arab jahilliyah. Inilah tugas Muhammad, yaitu untuk memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia pada umumnya, dan yang pertama-tama dihadapinya adalah kehidupan bangsa Arab pada masanya. Dan ini pula intisari pendidikan Islampada masa/periode Makkah.
Muhammad memperoleh kesadaran dan penghayatan yang mantap tentang ajaran tauhid, yang intisarinya adalah sebagai mana tercermin dalam surah Al-Fatihah. Pokok-pokoknya adalah:
1.      Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya, Dialah satu-satunya yang menguasai dan mengatur alam ini sedemikian rupa, sehingga merupakan tempat yang sesuai dengan kehidupan manusia.
2.      Bahwa Allah telah memberikan nikmat, memberikan segala keperluan bagi semua makhlukNya, dan khusus kepada manusia ditambah dengan petunjuk dan bimbingan agar mendapatkan kebahagiaan hidup yang sebenar-benarnya.
3.      Bahwa Allah adalah raja hari kemudian, telah memberikan pengertian bahwa segala amal perbuatan manusia sewaktu manusia di dunian ini akan diperhitungkan disana.
4.      Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan yang satu-satunya
5.      Bahwa Allah adalah penolong yang sebenarnya, dan oleh karenanya hanya kepadaNya lah manusia harus meminta pertolongan.
6.      Bahwa Allah sebenarnya yang membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan, tantangan, dan godaan.
Itulah intisari yang dibawa oleh Muhammad yang akan dididikkan kepada umatnya. Pelaksanaan tauhid tersebut ternyata jelas-jelas bertentangan dengan praktek kehidupan sehari-hari umat yang dihadapinya, sehingga dengan demikian wajarlah kalau pada mulanya ia mendapatkan tantangan yang hebat.
Pertama-tama Nabi Muhammad saw. Dalam rangka memberikan pendidikan tauhid ini, mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana merealisir pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidas sesuai dengan pengertian tauhid, diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur, sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran tauhid.
Kalau selama ini memulai pekerjaan dengan menyebutkan nama berhala, maka Nabi Muhammad saw. Agar dalam memulai setiap pekerjaan harus menyebut basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Dengan mengucapkan lafal tersebut, berarti: 1. Mengerjakan sesuatu perbuatan karena Allah, bukan karena yang lainnya, 2. Mengerjakan pekerjaan dengan harapan mendapatkan pertolongan dan petunjuk dari Allah, 3. Mendapatkan daya dan kekuatan dari Allah, 4. Tidak melanggar ketentuan Allah, dan 5. Dalam segala perbuatan tercermin sifat kasih sayang.
Mahmud Yunus, dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan Islam masa Makkah ini meliputi:
1.      Pendidikan keagamaan
2.      Pendidikan akliyah dan ilmiah
3.      Pendidikan akhlak dan budi pekerti
4.      Pendidikan jasmani (kesehatan)

b.      Pengajaran Al-Qur’an di Makkah
Al-Qur’an adalah merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad saw. Kepada umatnya. Tugas Muhammad di samping mengajarkan tauhid juga mengajarkan al-Qur’an kepada umatnya, agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya, yang selanjutnya akan menjadi warisan ajaran secara turun temurun, dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.

Pada masa permulaan Nabi Muhammad saw. Mengajarkan Islam di Makkah, telah ada beberapa orang di kalangan masyarakatnya yang pandai baca-tulis. Mereka antara lain adalah: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Talhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Hudaifah bin Utbah, Abu Sufyan bin Harb, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dll. Bahkan dari kalangan kaum wanita, terdapat nama-nama Hafsah isteri Nabi Muhammad saw. Ummi Kulsum binti Uqbah, Aisyah binti Sa’ad, al-Syifak binti Abdullah al-Adawiyah dan Karimah binti al-Miqdad, yang pandai baca-tulis.
Muhammad saw. Diperintahkan oleh Allah untuk membaca lalu ia membaca situasi sekitarnya dan situasi masyarakat yang menjadi sasaran tugasnya. Ia melihat potensi pengikutnya yang kuat hafalannya, dan potensi sebagian dari mereka yang pandai baca-tulis.kemudian Nabi Muhammad memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang dibacakan oleh beliau dan mereka hafalkan. Demikianlah kebijaksanaan Rasulallah dalam setiap turun wahyu.
Pada masa permulaan turunnya al-Qur’an, sewaktu Nabi Muhammad saw. Mengajarkan Islam secara sembunyi-sembunyi, para sahabat mempelajari al-Qur’an di suatu rumah (Arqam bin Abi al-Arqam). Mereka berkumpul membaca al-Qur’an memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bermudarasah dan bertadarus. Setelah Umar bin Khattab memeluk agama Islam mereka dengan bebas membaca dan mempelajari al-Qur’an. Nabi Muhammad saw. Selalu mnganjurkan kepada para sahabatnya supaya al-Qur’an dihafal dan selalu dibaca, dan diwajibkan membacanya dari ayat-ayatnya dalam shalat, sehingga kebiasaan membaca al-Qur’an tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, menggantikan kebiasaan membaca syair-syair indah pada masa sebelum Islam. Untuk menjaga agar al-Qur’an tidak tercampur dengan hal-hal lain maka Nabi Muhammad saw. Memberikan perintah agar hanya al-Qur’an sajalah yang dituliskan. Sabda beliau atau pelajaran-pelajaran lain, misalnya penjelasan-penjelasan al-Qur’an pun dilarang untuk ditulis.
Selanjutnya untuk memantapkan al-Qur’an dalam hafalan mereka, Nabi  uhammad saw. Sering mengadakan ulangan terhadap hafalan para sahabat tersebut. Beliau menyuruh para sahabat untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an di hadapannya, kemudian beliau membetulkan hafalan dan bacaan mereka, jika terjadi kekeliruan atau kesalahan. Nabi Muhammad saw. Baru wafat di waktu al-Qur’an telah lengkap dan sempurna pula disampaikan/diajarkan kepada umatnya, telah dihafalkan oleh banyak pengikutnya dan semua ayat-ayat dari setiap surah telah disusun pula menurut tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijaksanaan tersebut, tentunya sesuai dengan tujuan dan sasaran diturunkannya al-Qur’an oleh Allah, yang bukan saja untuk suku Quraisy, atau untuk suku-suku bangsa Arab lainnya saja, tetapi bahkan untuk seluruh umat manusia.



PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa sejarah pendidikan Islam pada zaman Rasulullah saw. di kota Makkah pokok pembinaan pendidikan Islamnya adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, pokok pembinaan pendidikan Islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik, yang merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran, merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Niswa, Choirun. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press
Ramayulis.  2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Zuhairini. 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar